Senin, 07 April 2014 2 komentar

Dibalik Thropy LKTI


DIBALIK THROPY LKTI

Pertama melihatnya, hatiku seperti hilang setengah. Energiku down sampai 25 persen hingga harus bertumpu di kursi. Tatapanku menghujam tepat di matanya yang menatapku. Lalu tatapanku berpendar ke seluruh permukaan wajahnya. Tak terkata betapa memikatnya Tuhan menciptakan gadis kecil ini. Ibarat hasil maha karya sempurna yang tak ternilai. Mungkin yang dapat kugambarkan hanya warna pipinya yang putih dengan semburat rona ungu dan bibirnya yang merah bak jambu air yang menantang untuk digigit.

Aku dibebani tugas menjadi ketua panitia penyambutan siswa baru. Padahal aku baru juga naik ke kelas dua. Seandainya dapat memilih, aku memilih tidak ingin jadi panitia apapun. Aku lebih suka memanfaatkan waktu luang untuk mengurus kebun coklat peninggalan ayah yang tidak seberapa. Lumayan untuk tabungan dan keseharianku dengan Mama. Tapi tugas adalah tanggung jawab, apalagi ini dengan restu Kepala Sekolah. Repotlah aku mengurusi dua ratusan anak-anak yang baru melepas seragam putih biru itu. Dan saat itulah dia datang!

Melihatnya, aku seperti melihat sesuatu yang seperti 'milikku'. Seandainya dia sebuah mainan, maka aku sangat ingin memilikinya. Andai dia permen, maka aku ingin mengemutnya. Atau misalnya dia boneka, maka aku ingin memeluknya. Atau mungkin dia aroma udara, maka aku ingin menghirupnya dalam-dalam hingga dia tinggal sepenuhnya dalam diriku.

Tapi keinginan itu tinggal keinginan. Dia seperti bulan yang mustahil kuraih. Teman-teman mengakui aku menarik. Tapi semua itu hampir tidak ada artinya dibanding dia. Dia cantik lahir bathin, kaya dan putri tunggal Bupati, serta cerdas. Kecerdasannya dapat dilihat saat setahun kemudian kami sama-sama masuk final Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional wilayah timur.

Masuk final berarti kami akan melakukan perjalanan dan harus menginap sedikitnya dua malam untuk masing-masing dua kali persentase. Di hotel, kami mengambil dua kamar. Satu untukku dan Pak Yamin, satunya lagi untuk ibu Hana dan dia. Lucunya, ternyata dua official kami, Pak Yamin dan Bu Hana sementara dalam proses 'saling mendekat'.

Melewati dua hari yang melelahkan, kami memutuskan menambah waktu dua hari untuk menunggu pengumuman hasil. Mungkin juga menjaga jangan sampai ada pemberitahuan berikut. Tapi menambah waktu berarti ada waktu jalan-jalan. Lalu siang jam satu, official kami mengajak nonton di Twenty One. Tapi kurasa itu hanya basa-basi. Aku menolak dan lebih memilih jalan dengan Ika (nama gadis itu) lihat-lihat buku di Gramedia. Ika sepakat, tapi setelah mereka berangkat, Ika malah menerobos ke kamarku.

"Aku mau tidur di sini," ucapnya ringan.
"Cewek masuk kamar cowok nggak baik dilihat orang," celetukku asal.
Ia tidak menjawab. Malah mengunci pintu dan memasukkan anak kunci ke sakunya. Tubuhnya dihempaskan ke kasur. Nampaknya dia betul-betul ingin tidur.

Tidak lama dia pulas dengan irama napas yang teratur. Wah, tidur kok di sini, pikirku. Dia juga kan punya kamar. Kalau begini, aku tidak bisa keluar. Aku tidak mungkin mengambil anak kunci di sakunya. Apalagi di saku depan. Memikirkannya saja sudah tidak mungkin.

Menunggu setengah jam lebih, aku ikut mengantuk. Mungkin kami memang butuh istirahat setelah dua hari memforsir tenaga dan pikiran. Hati-hati aku berbaring di sebelahnya setelah sebelumnya memasang guling sebagai pembatas. Rasanya deg-degan juga tidur di sebelah gadis yang telah lama memikat hatiku ini. Tapi perasaan ingin 'memilikinya' telah lama kukubur. Mungkin itu yang membuatku cepat terlelap.

Aku terbangun setelah merasa pipiku hangat dan pinggangku terbebani sesuatu. Aku kaget bukan kepalang menyadari pipi Ika yang menghangatkan pipiku. Seperti mimpi, tapi ini nyata. Terasa betul napasnya hangat. Di bawah, betisnya melingkari pinggangku. Pangkal pahanya bersandar tepat di pinggang sebelah kiri. Hangat.

Aku grogi bukan main. Seumur-umur, baru ini pipiku berdekatan dengan pipi cewek. Badanku rasanya bergetar. Mungkin kalau cewek lain, aku masih bisa tenang. Tapi ini, Ika! Gadis yang telah mencuri setengah dari hatiku. Tak bisa berbuat lain, aku diam saja. Tapi menghayati ke-'diam'-an dalam suasana begitu, menimbulkan perasaan intim di hatiku. Tidak mampu kutahan, tanganku bergerak membelai rambutnya yang hitam lebat dan beraroma.

Aromanya! Ah, ini menyebabkan aliran darahku mengalir deras dan berpusat di tengah tubuhku. Ada yang tegang di antara degup jantung yang cepat. Aku mulai mengerti diriku saat lengan Ika tiba-tiba mendekap lebih erat. Ia menyeruakkan kepalanya di leherku. Kulirik matanya, kelopaknya tertutup. Ia tetap tidur.

Lamat-lamat kupikir, boneka yang kudamba itu kini dapat kupeluk dan aroma udara itu kini dapat kuhirup! Sekilas peringatan bahwa ini bukan sewajarnya, aku langsung menarik tangan. Saat itu juga kelopak mata Ika berkerjap-kerjap membuka. Ekspresi pertamanya adalah bingung. Serta merta dia menarik diri. Mungkin sadar kalau dia yang mendekapku, dia mendesah lirih dengan wajah memerah.

"Maaf Kak. Ika kira Mama."
Tadinya aku ingin minta maaf. Tapi melihat ekspresinya, aku jadi ingin mencubitnya. Tapi aku tidak berani. Aku malah tertawa sampai badanku terguncang-guncang.
"Puas ya, bikin orang kayak guling," candaku.
"Ih, Kakak!" teriaknya tertahan.

Lalu tanpa kuduga dia kembali mendekapku dan menyembunyikan wajah di leherku, sementara kakinya disusupkan di antara kakiku yang miring. Aku kegelian. Tapi satu yang tidak kuperhatikan dari tadi adalah sesuatu yang empuk menyentuh dadaku. Dua bukit kembar itu terasa betul. Kedekatan yang hampir menyatu ini betul-betul membolak-balikkan pikiranku. Darahku yang tadi mengalir deras, kini tambah deras. Aku diam menikmati sensasi baru itu.

Ekor mataku menangkap gerak jam dinding. Jam dua lewat empat puluh menit. Hmm, mereka pasti pulang sore atau malah malam, pikirku mengingat dua official kami. Tidak mungkin dua orang yang lagi kasmaran itu hanya nonton saja. Paling disambung JJS (Jalan-Jalan Sore) atau camilan entah di mana.

Sementara berpikir, tanpa kusadari tanganku bergerak memeluk pinggang Ika. Tubuhnya seperti mau hilang dan menyatu dengan tubuhku. Aku memang lebih tinggi. Dikeloni begitu, Ika malah tambah merapatkan tubuhnya.
"Hihihi, ah," aku kegelian merasa hembusan napasnya di leherku. Bulu romaku merinding.
"Geli, ah..." ringisku sambil mengubah letak kepalanya. Tapi jariku tidak sengaja malah menyentuh bibirnya.
Spontan dia menengadah dengan mata berkerjap-kerjap indah. Sungguh, caranya menatap dari jarak sepuluh senti itu membuatku ingin menyentuh bibirnya lagi. Tapi tatapan jernihnya sangat polos dan mengundang perasaan sayang.

Perlahan gelora dalam tubuhku berkurang. Tinggal degup jantungku yang malah bertambah. Rasanya aku seperti sedang memandang seorang 'adik' yang hanya untuk disayang. Sedikit beda barangkali, karena ada juga perasaan ingin 'menyentuhnya lebih dalam'.

Ika masih menatapku saat jariku bergerak menyentuh bibir mungilnya. Kubelai pelan kelopak yang mengatup itu penuh perasaan. Lembut, kenyal dan agak lembab. Bibir yang sempurna, bisikku dalam hati. Tiga kali kuusap-usap ke kiri dan kanan hingga sesekali tersibak, Ika menggeser naik badannya hingga wajah kami hampir sejajar. Lagi-lagi kurasakan dadanya menekan erat di dadaku. Kembali getaran aneh menyelimutiku. Kulirik dadanya, ia ikut melirik dan mendapati kancing kemeja atasnya terlepas.

"Eh..?" dia tersentak.
Ternyata kancingnya tanggal. Kembali aku terguncang oleh tawaku sendiri. Wajahnya memberenggut kesal. Dia membalik badan membelakangiku.
"Peluk Ika dong Kak," pintanya sambil meraih lenganku melingkari lehernya.
"Ika enak tidur kalau dipeluk begini," sambungnya.
Wah! Dipeluk? Aku gregetan bukan main. Tadi saja sudah bikin gemetar, padahal tidak sengaja. Lha, ini? http://bukan17tahun.blogspot.com/

"Kamu sering dipeluk begini?" tanyaku, terlepas begitu saja.
Diam-diam ada perasaan lain di hatiku. Seperti tidak rela dia dipeluk orang lain. Hmm, rasa cemburukah ini?

"Iya, tapi sama Mama aja. Papa ngomel-ngomel kalau Ika minta dikelonin ama dia. Heran, Papa kok gitu ya?"
"Ya, tentu aja," ringisku, tapi hanya dalam hati.
Ini anak polos amat, sih? gerutuku. Hampir 16 tahun masih 'bloon'. Mungkin dia belum banyak tahu seperti aku yang juga masih hijau.

"Kakak belum pernah dengar kamu pacaran, Ik?" tanyaku mengikuti caranya menyebut diriku 'kakak'. Tanganku menyentuh pipinya. Uh, halus dan nyaman sekali!
"Bakal ada perang dunia kalau Papa dengar Ika pacaran. Makanya Ika nggak mau pacaran. Lagian, perasaan, Ika belum butuh tuh. Kalau... Uffhhh..." Ika meniup tanganku yang turun ke bibirnya.
Tanganku disorong ke bawah, tapi justru menyentuh bukit kembarnya yang empuk.

"Eh?!" spontan ia memekik pelan. Tubuhnya dihadapkan ke badanku.
"Kak." bisiknya dengan tatapan menghujam mataku. "Kok Ika merinding ya?"
"Merinding?"
"Iya. Tuh, lihat..!" dia menyodorkan lengannya.
"Waktu dada Ika kesentuh tadi, badan Ika seperti kena stroom. Kenapa ya?"
"Masak sih?"
"Iya. Coba, satu kali lagi."

Wah! Menyentuh dadanya? Ini sih bahaya! Tapi aku tidak dapat berpikir lagi. Tangan kananku bergerak menyentuh gundukan padat berukuran standar yang masih terbungkus itu. Tapi yang kurasa tidak seberapa kecuali bukit berlekuk. Coba kutekan sedikit. Hm, kenyal sekali.

"Tuh, lihat. Merinding kan?" Ika menatapku. "Tapi menyenangkan, hihihi."
Dia mengetatkan pelukannya hingga pipi kami bersentuhan lagi. Sepertinya dia merasakan getar kewanitaannya dan ingin menikmatinya. Bukit dadanya ditekan kuat ke dadaku. Terdengar suara napasnya agak memburu. Tapi itu bukan hanya napasnya. Napasku juga menjadi pendek-pendek seperti kekurangan oksigen. Baru kusadari kalau sesuatu di bawah perutku menegang dan terasa sakit karena terkungkung celana. Aku menarik badan sedikit dan memperbaiki posisi. Ika memperhatikan wajahku yang meringis.

"Kenapa Kak?""Nggak. Cuma bikin nyaman aja," elakku.
Aku tidak mau dia tahu kalau aku sedang tegang.
"Kamu pernah dicium, Ik?"
"Udah. Sering, malah. Di pipi. Eh, Ika pernah lihat orang ciuman di bibir. Hani juga ama Mila pernah begitu. Enak, kali ya?"
"Nggak tau. Nggak pernah, sih." Aku tersenyum kecut. "Mau coba?" tanyaku, asal.
Entah dari mana ide konyol itu.

Ika berpikir sesaat lalu mengangguk. Wah, busyet! Kulirik matanya menutup. Aku coba mengingat-ingat bagaimana cara orang berciuman. Bayangan film dan novel-novel yang pernah kubaca tidak dapat tergambar jelas. Akhirnya aku berimprovisasi membayangkan seandainya posisiku berada di posisinya, kira-kira apa yang menyenangkan?

Mungkin merasa kelamaan, mata Ika membuka lagi. Saat menutup kembali, kelopak matanya itu yang kukecup pertama baru kemudian mencari bibirnya. Terasa napasnya menghantam leherku. Lengannya menekan erat lenganku. Asyik juga, pengalaman mendebarkan nih, pikirku sesaat.

Dua kelopak bibirnya ingin kuemut sekaligus. Tapi tidak. Pertama menelusuri kelopak atas dan kelopak bawah dengan lidahku, sekedar membasahi. Setelah menempel hangat dengan bibirku, baru aku menyibaknya. Lidahku sedikit masuk dan menggigit-gigit pelan sambil sesekali menghisapnya. Bibir Ika yang tipis penuh dan lembut itu terasa segar dan manis. Ika sepertinya cepat paham. Ia melakukan apa yang kulakukan. Tapi posisi miring membuatku kram. Setelah melepas lenganku dari bawah tengkuknya, aku menggerakkan badan ke atasnya, tapi tetap masih miring. Bukannya membantu, dia malah mendorong tubuhku dan menarik diri agak jauh. Ia bangkit tersenyum sambil berkerjap-kerjap indah.

"Ternyata rasanya seperti itu ya..?" ucapnya tanpa memandangku.
Tatapannya menerawang seperti kembali menghayati apa yang baru dirasakannya. Suasana itu membuatku diam. Aku merasa bagai dalam mimpi. Sungguh, ini pengalaman pertama yang takkan pernah kulupa, sampai kapan pun.

"Apa yang kamu pikirkan, Kak?" suara Ika terdengar normal.
Melihat caranya menatapku, aku sadar kalau seluruh hatiku sudah menjadi miliknya. Aku mencintaimu Ika, batinku.
"Kamu cantik," elakku, bernada canda.
"Mhuummm..."

Tok! Tok! Tok!

Eh?! Refleks kami menoleh ke pintu. Jangan-jangan... mereka, wah! Dengan anggukan, Ika mengerti aku menyuruhnya membuka pintu sementara aku merapikan bantal dan sprei yang kusut.

Syukur! Ternyata resepsionis hotel. Laki-laki setengah baya itu tersenyum melihat baju kami yang kusut. Tapi dia tidak perlu curiga berlebihan. Aku yakin dia pasti tidak akan berprasangka kami berbuat yang aneh-aneh.

"Ada telepon dari official kalian," ucapnya santai. "Mereka akan pulang malam. Sekitar jam sembilan atau jam sepuluh lah."
Aku mengangguk sebelum ia menarik daun pintu. Ika hanya menggerendelnya. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya. Hampir setengah empat, sekarang. Di pinggir jendela aku menemukan kesadaranku kembali dengan utuh, merasa apa yang baru saja terjadi adalah sebuah kesalahan.

"Tidak baik kita berduaan di kamar begini." ucapku tanpa berani memandangnya.
Tapi aku merasa yakin Ika memperhatikanku. Dia mendekat dan menatap persis di depan mataku. Kulihat ada kabut di pandangannya, tapi dalam waktu singkat berubah penuh bintang. Lenganku ditarik dan kami duduk di tepi tempat tidur. Apa lagi nih, tanyaku dalam hati. Tapi dia hanya tersenyum-senyum dalam sekian detik.

"Ika merasa punya seorang Kakak, sekarang. Mmm... Kakak kandung, maksud Ika," ucapnya bergetar.
Aku ingat dia anak tunggal. Tapi jadi kakak kandung? Tunggu dulu!
"Mau kan, Kak?"
"Apa kewajibannya?"
"Kewajiban? Yeee..." Ika menggelitikku.
Tidak tahan, aku balik menggelitiknya. Jadinya tempat tidur berantakan.

Kami bermain seperti anak kecil. Sekali waktu dia menindihku, sekali waktu aku yang menindihnya. Kecapekan, Ika merebahkan tubuhnya di dadaku. Wajah kami sedemikian dekat hingga hembusan napas kami bertabrakan. Seperti menghadapi kaca kristal yang rapuh, jemariku bergerak hati-hati merapikan anak-anakan rambut di keningnya yang berkeringat kecil.

"Kewajiban kakak yaa... keloni Ika begini." ucapnya tiba-tiba.
Senyum tipisnya seperti penuh harap. Aku jadi ingat sesuatu.
"Munurutmu kita bisa menang di LKTI ini?"
Ika mengerutkan kening. "Nggak tau. Ika nggak yakin sih. Tapi Ika nggak nyesel ikut ini. Kan malah dapat Kakak, hihi..."
"Rival kita berat-berat. Kakak juga nggak yakin." Aku ikut pesimis.
Sebuah pikiran konyol melintas. Dua tanganku turun ke bawah sikunya hingga menyentuh bukit kembarnya dari sisi luar. Ika menatapku tajam.

"Ik.., Kakak juga gemetar menyentuh ini," bisikku hampir tidak kedengaran.
Aku ingat dia tadi bilang merinding, entah kalau kali ini. Dia menggeser tubuhnya, berbaring di sebelahku. Lengan kiriku terhimpit tepat di dada kanannya. Khawatir dia tidak nyaman, kutarik lenganku. Tatapannya kali ini tidak terfokus. Masih penasaran, tangan kananku menyentuh dada kirinya yang membusung. Agak grogi, tapi aku menguatkan hati. Ika diam saja. Aku coba mengelus bukit kecil yang masih terbungkus itu. Tapi dia bangkit duduk.

"Ika lepas kemeja ya? Ika pengen tau bagaimana rasanya."
Tanpa tahu harus menjawab apa, kubiarkan dia melepas kancing kemejanya satu persatu. Jantungku berdegup kencang melihat pemandangan indah kulit putih Ika yang terbuka perlahan. Dadanya masih terbalut bra putih, tapi itu cukup membuat 'adek kecil'-ku terbangun. Ia melempar kemejanya ke kursi lalu kembali rebah di sampingku. Matanya berbinar-binar. Karena rasa penasaran? Ah, aku tidak punya waktu memikirkan perasaannya. Aku sendiri sibuk menata perasaannku yang bergolak.

Tanganku bergerak tanpa terencana mengelus lehernya. Ika membalas dengan menekan punggungku. Mungkin itu tanda dia terpengaruh. Ada urat kecil yang berdenyut cepat di lehernya. Matanya menutup membuka dengan ritme tidak teratur begitu tanganku mulai turun. Aku memperhatikan dada putihnya yang seperti membesar dan keras. Daerah itu kubelai sekelilingnya. Gerakan ini membuat tekanan di punggungku makin kuat. Perlahan tapi pasti, jariku menelusup ke balik bra-nya. Dia melenguh tertahan. Tangannya pindah memeluk leherku. Kakinya juga bergerak menyilang saling himpit. Tidak dapat menahan diri, bra-nya kugeser naik. Ah, bukit kembar putih seperti salak terkupas kulitnya itu amat memikat. Seperti inikah dada seorang gadis? desahku dalam hati.

Tiba-tiba Ika bergerak. Tangannya menutup dua bukit kembarnya.
"Risih dilihat-lihat," ringisnya, tapi lebih mirip senyum.
Kususupkan tanganku ke belakang tubuhnya dan melepas pengait bra. Kulepas hati-hati, berharap dia tidak melarang. Ika menatap tajam begitu kuraih tangannya ke leherku. Kini dari pinggang ke atas, tubuhnya terbuka. Dalam keadaan begitu, Ika lebih mirip bayi cantik yang menggemaskan. Dia memperhatikanku melepas kaosku sendiri. Kami sudah sama-sama tidak berpenutup dada saat aku setengah telungkup di atas tubuhnya.

Kembali kukecup dua kelopak matanya yang segera menutup. Turun ke hidung hingga akhirnya menempel di bibirnya. Dalam posisi begitu, dadanya yang berukuran standar itu menempel lekat di dadaku. Sambil menyibak dan menggigit-gigit kecil bibirnnya, kugoyang pelan dadaku hingga bukit kembarnya juga ikut terbawa.

Kecupanku turun ke leher. Turun lagi dan akhirnya bibirku bermain-main di sekeliling gundukan dadanya. Belahan dada Ika memiliki aroma yang khas. Di situ kubenamkan wajahku dan menghirupnya dalam-dalam seolah ingin memindahkan seluruh aroma itu ke dadaku. Pipiku jadi terhimpit dua gundukan halus itu. Begitu lidahku bermain-main di puting susunya yang berwarna ungu kecoklatan dan tegang, dua tangan Ika menekan kepalaku seperti melarangku berhenti. Lenguhannya terdengar lagi, panjang pendek. Dua puting itu basah oleh lidahku.

Saat puting susunya kuemut sambil sesekali mengisap dan menggigitnya pelan, tanganku memilin, mengusap dan menarik-narik pelan puting yang satunya. Kali ini lenguhan Ika agak keras dan tekanan tangannya juga menguat.

Semenit kemudian, tanganku bergerak ke bawah sementara lidahku tetap di atas. Jari kananku berputar-putar dan mencucuk-cucuk pusarnya. Di situ Ika menggeliat-geliat dan merintih. Tanganku terus ke bawah, menarik reslueting turun. Sesaat ia tegang, tapi akhirnya pahanya membuka memudahkanku menurunkan resluiting. Ikat pinggangnya gampang dilepas hingga dengan cepat telapak tanganku kemudian mendarat penuh di antara pahanya yang membusung. Daerah yang terbungkus CD itu terasa hangat. Aneh, pikirku. Kok, panas?

Aku tidak berniat melepas celana panjang dan CD-nya. Telapak tanganku menempel lama di situ, merasakan kehangatan yang empuk dan ajaib itu. Tubuh Ika meliuk-liuk kusentuh di dua tempat begitu. Dia berusaha menahan rintihannya, tapi sesekali terlepas juga. Ekor mataku melihat dia berusaha membasahi bibir dengan lidahnya. Seperti kehausan.

Tidak cukup, telapak tanganku kutekan ke dalam hingga daerah yang gemuk itu seperti melebar, lalu jari tengahku membuat gerakan menggaris, ke atas ke bawah. Aku tahu, tepat di tengah gundukan hangat itu ada lekuk belahan memanjang. Lama-lama CD di lekukan itu basah dan agak lengket. Rintihan Ika mulai bergelombang. Daerah pusarnya juga turun naik seperti ombak. Napasnya mulai megap-megap.

Sambil tanganku terus melakukan gerakan turun naik dan sesekali mengilik bagian atas yang ada klentitnya. Pilinan, gigitan dan sedotanku pada puting susunya juga kuperkuat. Rasanya aku tidak habis pikir kenapa semua itu kulakukan. Mungkin pengaruh bacaan dan film yang pernah kutonton.

Sedikit kesadaran menghampiriku. Tapi itu sudah cukup untuk membuatku berhenti. Tubuhku kutarik ke atas dan mengecup keningnya tulus. Geliatnya juga berhenti dan kelopak matanya membuka. Aku merasa dia penasaran. Tapi aku jadi kasihan. Rasa sayangku melebihi gairahku saat itu. Kulihat di keningnya ada bintik-bintik keringat. Ah Ika, desahku dalam hati. Aku mencintaimu, tapi kenapa aku melakukan ini padamu? Penuh rasa penyesalan, aku membaringkan tubuh di sampingnya. Lama kami terdiam dengan tatapan ke langit-langit kamar.

"Ika gemetaran Kak." bisiknya parau.
Tanganku bergerak ke bawah menaikkan celana dan CD-nya.
"Maafkan aku, Ik." bisikku pelan di telinganya.
Ia menengadah dan kudapati matanya berlinang.
"Ika berharap jadi adikmu Kak," jawabnya, juga pelan. "Mestinya Ika tadi tidak buka baju. Jadinya begini deh." dia meringis kecut.
"Kakak juga nggak bisa tahan diri. Penasaran, sih."

"Kakak pernah begini?"
Aku menggeleng keras. "Cuma pernah lihat di film aja. Pernah juga baca novelnya. Jadinya ya, pengen rasa betulan, hihi."
"Sama seperti tadi?" dia mendelik nakal.
Cepat-cepat kuraih bra dan kemeja lalu mengancingnya. Geloraku naik lagi begitu menyentuh dadanya kembali. Tapi aku menguatkan diri untuk tidak terpengaruh. Ika tersenyum-senyum menatapku.

"Ika tadi cuma pengen buka baju aja. Kalau Kakak terus ke bawah, Ika akan larang. Tapi kok Ika nggak mampu larang ya? Rasanya Ika keenakan. Pengen terus."
"Itu bahaya banget, Ik."
"Kok, Kakak bisa nahan diri ya?"
Aku tertegun. Iya ya? ulangku dalam hati.
"Mungkin aku ingat kamu akan jadi adikku."
Aku mencium keningnya, lagi.

"Kalau Papamu tau, bukan cuma perang dunia yang terjadi. Armageddon, malah."
Ika meringis. Dia meraih kaosku dan memakaikan ke tubuhku. Tangannya sempat mencubit putingku yang dilingkari bulu-bulu halus. Aku memekik kecil lalu mendorongnya. Kulumat sekali lagi bibirnya sebelum akhirnya melompat turun.
"Jam empat, Ik. Mandi yuk..!"
"Kakak duluan gih. Ika nyusul. Beresin sprei dulu."

Kamar mandi kututup tapi tidak kukunci. Aku yakin Ika menyusul. Aku juga yakin dapat menahan diri menghadapinya. Kubuka pakaian dan menyisakan CD. Tidak biasanya aku mandi begitu. Tapi aku risih kalau polos di depannya. Ika menyusul dengan lipatan handuk dan beberapa potong pakaian. Cepat-cepat aku masuk bathtub. Ika juga menyisakan CD-nya dan masuk. Aku menelan ludah melihatnya.

"Tubuhmu indah Ik," sambutku meraih pinggang dan menuntunnya duduk membelakangiku.
"Kamu juga atletis, Kak."
Aku menyiram dan mulai menyabuninya. Menyentuh daerah dadanya, Ika rebah di dadaku.
"Ihhh..!" tiba-tiba ia memekik.
Tangannya mencari-cari bagian bawah tubuhku. Sebelum kusadari, ia sudah memegang daerah rahasiaku dan menggenggamnya.

"Jangan..!" sentakku panik. "Bahaya Ik."
"Hihihi. Besar, ya..." ia terkikik dengan wajah merah melepas genggamannya. "Tegang, ya..?"
Aku tahu dia penasaran. Tapi ia tidak boleh kubiarkan. Bisa-bisa aku tidak mampu menahan diri.

Melampiaskan rasa penasarannya, dia berbalik menunduk di dadaku dan mengecup kuat hingga membekaskan tanda merah. Sesaat aku tergetar. Kususupkan kepalaku ke dadanya dan balas mengecup satu setengah senti dari putingnya. Ika menggeliat-geliat. Ditekannya kepalaku kuat-kuat ke dadanya. Kutau dia terangsang hebat. Timbul pikiran untuk menyusupkan tanganku ke balik CD-nya. Tapi aku khawatir tidak dapat menahan diri. Akhirnya kubalikkan lagi tubuhnya. Kusabuni seluruh tubuhnya pelan. Tanganku gemetar di pangkal paha. Cepat-cepat kupindahkan ke dadanya. Daerah lembut kenyal itu kubelai sambil sesekali menekan. Ika tersenyum memeluk leherku. Kulihat dia keenakan tapi dapat bersikap wajar.

Tidak puas-puasnya aku memandang dan membelai dada indahnya. Ia menyadari itu dan mengatupkan mata.
"Gadis yanng sempurna," ucapku dalam hati tidak bosan-bosannya.
"Ika seperti mau pipis, Kak." bisiknya tiba-tiba.
Pinggul dan betisnya bergerak-gerak, sementara lengannya erat menekan lenganku.
"Eh?!" Aku tertegun kaget. Mau pipis? Jangan-jangan dia mau orgasme. Menurut yang kubaca, orgasme adalah puncak kenikmatan seks.

Weeh, kulihat gerakan Ika semakin tidak terkendali, sementara tanganku tanpa sadar menekan dan menggoyang buah dadanya agak cepat. Dua jari telunjukku menjepit putingnya.
"Aaah... Emmh... Kak," dia merintih membuat tanganku bergerak turun ke bawah. Di segitiga pengamannya, telapakku menekan kuat. Itu membuatnya makin menggelinjang. Aku tambah yakin dia mau orgasme.

Tangan kanannya pindah ke tepi, mencengkeram bathtub, sementara yang kiri turun menempel di tanganku yang masih menekan CD-nya. Ditempeli begitu, jari tengahku kugerakkan membentuk garis ke atas dan ke bawah. Tangannya juga ikut terbawa. Ah, rintihan dan geliat tubuhnya mempengaruhi 'adek kecil'-ku yang terbawa gerakan pinggulnya. Rasanya seperti mau pipis juga. Hey, seperti inikah rasanya kalau mau orgasme? Saya sudah berulang-ulang orgasme lewat mimpi. Tapi nyata-nyata seperti ini adalah hal baru. Jadi ini adalah pengalaman pertama.

Kulihat kening Ika berkerut dengan kepala yang bergoyang gelisah ke kiri dan kanan. Tangannya yang menempeli tanganku kunaikkan ke dada yang satunya, lalu kembali ke bawah. Dengan kebebasan begitu, jari tengahku kugerakkan makin cepat dengan tekanan yang lebih kuat. Tangan yang di dada juga bergerak meremas memilin makin gemas.

Gerakan Ika tambah liar di antara rintihannya yang tertahan-tahan. Aku juga merasa di tengah tubuhku seperti ingin melepas sesuatu yang mendesak-desak. Tubuhku terasa bergetar, entah karena getaran tubuhku atau getaran tubuh Ika.

"Emh... Mhhh... Mhhh... Kaak..!"
"Yaa... Emhh... Emhhh.." rintihan Ika menulariku.
Keringat keluar deras di keningnya dan keningku. Matanya tertutup rapat dengan hidung kembang kempis dan napas megap-megap. Aku merasa tidak jauh beda dengannya.

Tiba-tiba di tengah gerak tanganku yang turun naik, Ika mencengkeram kuat tanganku di bagian atas CD-nya. Kupikir itu daerah klit-nya, sebab terasa ada tonjolan kecil seperti butir jagung, tapi lebih kecil lagi. Kupaksakan turun agak ke bawah dan menekan kuat di situ. Gerakan tubuh Ika membuatku terangsang hebat. Tiba-tiba tangan kiriku mencengkeram dan meremas kuat bukit dadanya, sementara jari tengahku tertekan kuat di belahan paling bawah CD-nya. Aku menggeletar hebat dipengaruhi sesuatu yang menderu deras di 'adek kecil'-ku.

Aliran deras itu mendesak kuat dan... jebol! Aku megap-megap ingin berontak. Gerakan itu menyebabkan jariku tegang dan menusuk kuat hingga masuk hampir setengahnya bersama CD Ika. Saat itu juga Ika memekik gemetar dan menggelepar-gelepar. Rupanya dia tiba di puncak menyusulku.
"I.. Ik.. Ika... pipis Kaak..! Ah... ah... aahh..!"
Tanganku seperti mau patah dicengkeramnya. Di antara sisa-sisa orgasmeku, aku merasa jari tengahku panas dijepit kuat oleh belahan agak bawah di antara pahanya. Ada kedutan yang keras. Sungguh kuat dan menjepit. Lama-lama kian melemah.

Ika dan aku sama-sama terkulai lemas. Kami menentramkan perasaan dan mengatur napas yang masih memburu. Tiga menit kemudian, Ika berbalik memelukku, menelusupkan kepalanya di leherku.
"Ika lemas, Kak." bisiknya lemah.
Aku menggigit-gigit bahunya pelan. Coba me-replay perasaan yang kurasakan. Ajaib nan nikmat.

"Ika seperti terbang," bisiknya lagi. "Enak banget."
Aku terdiam. Ika mungkin tidak tahu kalau aku juga mencapai klimaks. Mungkin karena pengaruh geliat tubuh dan rintihannya. Atau mungkin karena sudah tegang sejak beberapa jam lalu. Atau karena yang kuhadapi adalah Ika, gadis yang telah lama memikatku ini. Atau mungkin karena ketiga-tiganya.

Ika menggeliat linglung, melepaskan diri dari dekapanku. Aku ikut bangkit. Kuraih dan mendekap tubuhnya di bawah shower yang mengguyur kami.

Jam lima sore di teras, kulihat mata Ika yang malu-malu seperti dipenuhi bintang. Dengan rambut masih agak basah begini dia kelihatan lebih cantik. Duduk bersisian begitu, membuat beberapa tamu hotel mencuri-curi pandang ke arah kami. Aku senyum-senyum bingung, tidak tahu persis apa yang ada di benakku. Di sisi lain aku bahagia, di sisi lain aku merasa malu dengan perasaan berdosa. Ah, sepertinya rasa malu lebih mendominasi perasaanku.

"Kita telah melakukan kesalahan, Ik."
"Jangan disebut-sebut lagi Kak. Ika malu."
"Iya, tapi mengenai ini Kakak nggak bakal lupa."
Ika tidak menjawab, hanya mencubit pahaku pelan.

Kami kembali pulang hanya dengan satu trophy. Ika meraih nomor tiga dalam LKTI itu. Aku hanya dinilai berbakat. Aku memang gagal, tapi yang kualami dengan Ika lebih bernilai daripada sebuah trophy. Kuakui itu membuatku merasa dikejar-kejar perasaan malu dan berdosa, tapi di sisi lain itu adalah hal terindah sejak aku mengenal dunia.

Di sekolah, kami memang akrab. Tapi tidak beda jauh dibanding hari-hari sekolah sebelumnya. Malah terkesan seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal aku ingin sekali dapat mendekapnya lagi, walaupun hanya menghirup aromanya.

Suatu hari ia datang ke rumahku. Aku senang sekaligus bingung melihat wajahnya disaput kabut.
"Papa dapat promosi Kak. Terpaksa pindah dan Ika harus ikut."
Berita itu seperti memaku tubuhku ke kursi. Aku hanya terdiam dan tertegun menatapnya. Air matanya turun dan membasahi pipi mungilnya. Khawatir kepergok Mama, aku hanya mengecup dan memeluknya singkat.

Itu hari terakhir aku bertemu dia. Sampai lima bulan kami masih berkirim surat. Tapi setelah itu, setelah dia mengatakan akan dipindahkan lagi, aku dan Mama juga pindah. Pamanku di Manado yang panggil. Beliau pengusaha sukses. Sampai aku selesai SMU, menyelesaikan diploma teknik sipilku, kerja di kontraktor tiga tahun dan kini sedang cari S1 di teknik arsitektur sebuah Universitas swasta di Ujung Pandang, aku tidak dengar lagi beritanya. Dimanakah kau Ika?

Rabu, 26 Maret 2014 1 komentar

Titipan Khusus

TITIPAN KHUSUS

Namaku Karina, usiaku 17 tahun dan aku adalah anak kedua dari pasangan Menado-Sunda. Kulitku putih, tinggi sekitar 168 cm dan berat 50 kg. Rambutku panjang sebahu dan ukuran dada 36B. Dalam keluargaku, semua wanitanya rata-rata berbadan seperti aku, sehingga tidak seperti gadis-gadis lain yang mendambakan tubuh yang indah sampai rela berdiet ketat. Di keluarga kami justru makan apapun tetap segini-segini saja.



Suatu sore dalam perjalanan pulang sehabis latihan cheers di sekolah, aku disuruh ayah mengantarkan surat-surat penting ke rumah temannya yang biasa dipanggil Om Robert. Kebetulan rumahnya memang melewati rumah kami karena letaknya di kompleks yang sama di perumahan elit selatan Jakarta.



Om Robert ini walau usianya sudah di akhir kepala 4, namun wajah dan gayanya masih seperti anak muda. Dari dulu diam-diam aku sedikit naksir padanya. Habis selain ganteng dan rambutnya sedikit beruban, badannya juga tinggi tegap dan hobinya berenang serta tenis. Ayah kenal dengannya sejak semasa kuliah dulu, oleh sebab itu kami lumayan dekat dengan keluarganya.



Kedua anaknya sedang kuliah di Amerika, sedang istrinya aktif di kegiatan sosial dan sering pergi ke pesta-pesta. Ibu sering diajak oleh si Tante Mela, istri Om Robert ini, namun ibu selalu menolak karena dia lebih senang di rumah.



Dengan diantar supir, aku sampai juga di rumahnya Om Robert yang dari luar terlihat sederhana namun di dalam ada kolam renang dan kebun yang luas. Sejak kecil aku sudah sering ke sini, namun baru kali ini aku datang sendiri tanpa ayah atau ibuku. Masih dengan seragam cheers-ku yang terdiri dari rok lipit warna biru yang panjangnya belasan centi diatas paha, dan kaos ketat tanpa lengan warna putih, aku memencet bel pintu rumahnya sambil membawa amplop besar titipan ayahku.



Ayah memang sedang ada bisnis dengan Om Robert yang pengusaha kayu, maka akhir-akhir ini mereka giat saling mengontak satu sama lain. Karena ayah ada rapat yang tidak dapat ditunda, maka suratnya tidak dapat dia berikan sendiri.



Seorang pembantu wanita yang sudah lumayan tua keluar dari dalam dan membukakan pintu untukku. Sementara itu kusuruh supirku menungguku di luar.

Ketika memasuki ruang tamu, si pembantu berkata, "Tuan sedang berenang, Non. Tunggu saja di sini biar saya beritahu Tuan kalau Non sudah datang."

"Makasih, Bi." jawabku sambil duduk di sofa yang empuk.



Sudah 10 menit lebih menunggu, si bibi tidak muncul-muncul juga, begitu pula dengan Om Robert. Karena bosan, aku jalan-jalan dan sampai di pintu yang ternyata menghubungkan rumah itu dengan halaman belakang dan kolam renangnya yang lumayan besar. Kubuka pintunya dan di tepi kolam kulihat Om Robert yang sedang berdiri dan mengeringkan tubuh dengan handuk.



"Ooh.." pekikku dalam hati demi melihat tubuh atletisnya terutama bulu-bulu dadanya yang lebat, dan tonjolan di antara kedua pahanya.

Wajahku agak memerah karena mendadak aku jadi horny, dan payudaraku terasa gatal. Om Robert menoleh dan melihatku berdiri terpaku dengan tatapan tolol, dia pun tertawa dan memanggilku untuk menghampirinya.



"Halo Karin, apa kabar kamu..?" sapa Om Robert hangat sambil memberikan sun di pipiku.

Aku pun balas sun dia walau kagok, "Oh, baik Om. Om sendiri apa kabar..?"

"Om baik-baik aja. Kamu baru pulang dari sekolah yah..?" tanya Om Robert sambil memandangku dari atas sampai ke bawah.

Tatapannya berhenti sebentar di dadaku yang membusung terbungkus kaos ketat, sedangkan aku sendiri hanya dapat tersenyum melihat tonjolan di celana renang Om Robert yang ketat itu mengeras.



"Iya Om, baru latihan cheers. Tante Mella mana Om..?" ujarku basa-basi.

"Tante Mella lagi ke Bali sama teman-temannya. Om ditinggal sendirian nih." balas Om Robert sambil memasang kimono di tubuhnya.

"Ooh.." jawabku dengan nada sedikit kecewa karena tidak dapat melihat tubuh atletis Om Robert dengan leluasa lagi.

"Ke dapur yuk..!"



"Kamu mau minum apa Rin..?" tanya Om Robert ketika kami sampai di dapur.

"Air putih aja Om, biar awet muda." jawabku asal.

Sambil menunggu Om Robert menuangkan air dingin ke gelas, aku pindah duduk ke atas meja di tengah-tengah dapurnya yang luas karena tidak ada bangku di dapurnya.

"Duduk di sini boleh yah Om..?" tanyaku sambil menyilangkan kaki kananku dan membiarkan paha putihku makin tinggi terlihat.

"Boleh kok Rin." kata Om Robert sambil mendekatiku dengan membawa gelas berisi air dingin.



Namun entah karena pandangannya terpaku pada cara dudukku yang menggoda itu atau memang beneran tidak sengaja, kakinya tersandung ujung keset yang berada di lantai dan Om Robert pun limbung ke depan hingga menumpahkan isi gelas tadi ke baju dan rokku.

"Aaah..!" pekikku kaget, sedang kedua tangan Om Robert langsung menggapai pahaku untuk menahan tubuhnya agar tidak jatuh.

"Aduh.., begimana sih..? Om nggak sengaja Rin. Maaf yah, baju kamu jadi basah semua tuh. Dingin nggak airnya tadi..?" tanya Om Robert sambil buru-buru mengambil lap dan menyeka rok dan kaosku.



Aku yang masih terkejut hanya diam mengamati tangan Om Robert yang berada di atas dadaku dan matanya yang nampak berkonsentrasi menyeka kaosku. Putingku tercetak semakin jelas di balik kaosku yang basah dan hembusan napasku yang memburu menerpa wajah Om Robert.

"Om.. udah Om..!" kataku lirih.

Dia pun menoleh ke atas memandang wajahku dan bukannya menjauh malah meletakkan kain lap tadi di sampingku dan mendekatkan kembali wajahnya ke wajahku dan tersenyum sambil mengelus rambutku.



"Kamu cantik, Karin.." ujarnya lembut.

Aku jadi tertunduk malu tapi tangannya mengangkat daguku dan malahan menciumku tepat di bibir. Aku refleks memejamkan mata dan Om Robert kembali menciumku tapi sekarang lidahnya mencoba mendesak masuk ke dalam mulutku. Aku ingin menolak rasanya, tapi dorongan dari dalam tidak dapat berbohong. Aku balas melumat bibirnya dan tanganku meraih pundak Om Robert, sedang tangannya sendiri meraba-raba pahaku dari dalam rokku yang makin terangkat hingga terlihat jelas celana dalam dan selangkanganku.



Ciumannya makin buas, dan kini Om Robert turun ke leher dan menciumku di sana. Sambil berciuman, tanganku meraih pengikat kimono Om Robert dan membukanya. Tanganku menelusuri dadanya yang bidang dan bulu-bulunya yang lebat, kemudian mengecupnya lembut. Sementara itu tangan Om Robert juga tidak mau kalah bergerak mengelus celana dalamku dari luar, kemudian ke atas lagi dan meremas payudaraku yang sudah gatal sedari tadi.



Aku melenguh agak keras dan Om Robert pun makin giat meremas-remas dadaku yang montok itu. Perlahan dia melepaskan ciumannya dan aku membiarkan dia melepas kaosku dari atas. Kini aku duduk hanya mengenakan bra hitam dan rok cheersku itu. Om Robert memandangku tidak berkedip. Kemudian dia bergerak cepat melumat kembali bibirku dan sambil french kissing, tangannya melepas kaitan bra-ku dari belakang dengan tangannya yang cekatan.



Kini dadaku benar-benar telanjang bulat. Aku masih merasa aneh karena baru kali ini aku telanjang dada di depan pria yang bukan pacarku. Om Robert mulai meremas kedua payudaraku bergantian dan aku memilih untuk memejamkan mata dan menikmati saja. Tiba-tiba aku merasa putingku yang sudah tegang akibat nafsu itu menjadi basah, dan ternyata Om Robert sedang asyik menjilatnya dengan lidahnya yang panjang dan tebal. Uh.., jago sekali dia melumat, mencium, menarik-narik dan menghisap-hisap puting kiri dan kananku.



Tanpa kusadari, aku pun mengeluarkan erangan yang lumayan keras, dan itu malah semakin membuat Om Robert bernafsu.

"Oom.. aah.. aaah..!"

"Rin, kamu kok seksi banget sih..? Om suka banget sama badan kamu, bagus banget. Apalagi ini.." godanya sambil memelintir putingku yang makin mencuat dan tegang.

"Ahh.., Om.. gelii..!" balasku manja.



"Sshh.. jangan panggil 'Om', sekarang panggil 'Robert' aja ya, Rin. Kamu kan udah gede.." ujarnya.

"Iya deh, Om." jawabku nakal dan Om Robert pun sengaja memelintir kedua putingku lebih keras lagi.

"Eeeh..! Om.. eh Robert.. geli aah..!" kataku sambil sedikit cemberut namun dia tidak menjawab malahan mencium bibirku mesra.


Entah kapan tepatnya, Om Robert berhasil meloloskan rok dan celana dalam hitamku, yang pasti tahu-tahu aku sudah telanjang bulat di atas meja dapur itu dan Om Robert sendiri sudah melepas celana renangnya, hanya tinggal memakai kimononya saja. Kini Om Robert membungkuk dan jilatannya pindah ke selangkanganku yang sengaja kubuka selebar-lebarnya agar dia dapat melihat isi vaginaku yang merekah dan berwarna merah muda.



Kemudian lidah yang hangat dan basah itu pun pindah ke atas dan mulai mengerjai klitorisku dari atas ke bawah dan begitu terus berulang-ulang hingga aku mengerang tidak tertahan.

"Aeeh.. uuh... Rob.. aawh.. ehh..!"

Aku hanya dapat mengelus dan menjambak rambut Om Robert dengan tangan kananku, sedang tangan kiriku berusaha berpegang pada atas meja untuk menopang tubuhku agar tidak jatuh ke depan atau ke belakang.



Badanku terasa mengejang serta cairan vaginaku terasa mulai meleleh keluar dan Om Robert pun menjilatinya dengan cepat sampai vaginaku terasa kering kembali. Badanku kemudian direbahkan di atas meja dan dibiarkannya kakiku menjuntai ke bawah, sedang Om Robert melebarkan kedua kakinya dan siap-siap memasukkan penisnya yang besar dan sudah tegang dari tadi ke dalam vaginaku yang juga sudah tidak sabar ingin dimasuki olehnya.



Perlahan Om Robert mendorong penisnya ke dalam vaginaku yang sempit dan penisnya mulai menggosok-gosok dinding vaginaku. Rasanya benar-benar nikmat, geli, dan entah apa lagi, pokoknya aku hanya memejamkan mata dan menikmati semuanya.

"Aaww.. gede banget sih Rob..!" ujarku karena dari tadi Om Robert belum berhasil juga memasukkan seluruh penisnya ke dalam vaginaku itu.

"Iyah.., tahan sebentar yah Sayang, vagina kamu juga sempitnya.. ampun deh..!"

Aku tersenyum sambil menahan gejolak nafsu yang sudah menggebu.



Akhirnya setelah lima kali lebih mencoba masuk, penis Om Robert berhasil masuk seluruhnya ke dalam vaginaku dan pinggulnya pun mulai bergerak maju mundur. Makin lama gerakannya makin cepat dan terdengar Om Robert mengerang keenakan.

"Ah Rin... enak Rin.. aduuuh..!"

"Iii.. iyaa.. Om.. enakk.. ngentott.. Om.. terusss.. eehh..!" balasku sambil merem melek keenakan.



Om Robert tersenyum mendengarku yang mulai meracau ngomongnya. Memang kalau sudah begini biasanya keluar kata-kata kasar dari mulutku dan ternyata itu membuat Om Robert semakin nafsu saja.

"Awwh.. awwwh.. aah..!" orgasmeku mulai lagi.

Tidak lama kemudian badanku diperosotkan ke bawah dari atas meja dan diputar menghadap ke depan meja, membelakangi Om Robert yang masih berdiri tanpa mencabut penisnya dari dalam vaginaku. Diputar begitu rasanya cairanku menetes ke sela-sela paha kami dan gesekannya benar-benar nikmat.



Kini posisiku membelakangi Om Robert dan dia pun mulai menggenjot lagi dengan gaya doggie style. Badanku membungkuk ke depan, kedua payudara montokku menggantung bebas dan ikut berayun-ayun setiap kali pinggul Om Robert maju mundur. Aku pun ikut memutar-mutar pinggul dan pantatku. Om Robert mempercepat gerakannya sambil sesekali meremas gemas pantatku yang semok dan putih itu, kemudian berpindah ke depan dan mencari putingku yang sudah sangat tegang dari tadi.



"Awwh.. lebih keras Om.. pentilnya.. puterrr..!" rintihku dan Om Robert serta merta meremas putingku lebih keras lagi dan tangan satunya bergerak mencari klitorisku.

Kedua tanganku berpegang pada ujung meja dan kepalaku menoleh ke belakang melihat Om Robert yang sedang merem melek keenakan. Gila rasanya tubuhku banjir keringat dan nikmatnya tangan Om Robert di mana-mana yang menggerayangi tubuhku.



Putingku diputar-putar makin keras sambil sesekali payudaraku diremas kuat. Klitorisku digosok-gosok makin gila, dan hentakan penisnya keluar masuk vaginaku makin cepat. Akhirnya orgasmeku mulai lagi. Bagai terkena badai, tubuhku mengejang kuat dan lututku lemas sekali. Begitu juga dengan Om Robert, akhirnya dia ejakulasi juga dan memuncratkan spermanya di dalam vaginaku yang hangat.



"Aaah.. Riin..!" erangnya.

Om Robert melepaskan penisnya dari dalam vaginaku dan aku berlutut lemas sambil bersandar di samping meja dapur dan mengatur napasku. Om Robert duduk di sebelahku dan kami sama-sama masih terengah-engah setelah pertempuran yang seru tadi.



"Sini Om..! Karin bersihin sisanya tadi..!" ujarku sambil membungkuk dan menjilati sisa-sisa cairan cinta tadi di sekitar selangkangan Om Robert.

Om Robert hanya terdiam sambil mengelus rambutku yang sudah acak-acakan. Setelah bersih, gantian Om Robert yang menjilati selangkanganku, kemudian dia mengumpulkan pakaian seragamku yang berceceran di lantai dapur dan mengantarku ke kamar mandi.



Setelah mencuci vaginaku dan memakai seragamku kembali, aku keluar menemui Om Robert yang ternyata sudah memakai kaos dan celana kulot, dan kami sama-sama tersenyum.

"Rin, Om minta maaf yah malah begini jadinya, kamu nggak menyesal kan..?" ujar Om Robert sambil menarik diriku duduk di pangkuannya.

"Enggak Om, dari dulu Karin emang senang sama Om, menurut Karin Om itu temen ayah yang paling ganteng dan baik." pujiku.

"Makasih ya Sayang, ingat kalau ada apa-apa jangan segan telpon Om yah..?" balasnya.

"Iya Om, makasih juga yah permainannya yang tadi, Om jago deh."

"Iya Rin, kamu juga. Om aja nggak nyangka kamu bisa muasin Om kayak tadi."

"He.. he.. he.." aku tersipu malu.



"Oh iya Om, ini titipannya ayah hampir lupa." ujarku sambil buru-buru menyerahkan titipan ayah pada Om Robert.

"Iya, makasih ya Karin sayang.." jawab Om Robert sambil tangannya meraba pahaku lagi dari dalam rokku.

"Aah.. Om, Karin musti pulang nih, udah sore." elakku sambil melepaskan diri dari Om Robert.

Om Robert pun berdiri dan mencium pipiku lembut, kemudian mengantarku ke mobil dan aku pun pulang.



Di dalam mobil, supirku yang mungkin heran melihatku tersenyum-senyum sendirian mengingat kejadian tadi pun bertanya.

"Non, kok lama amat sih nganter amplop doang..? Ditahan dulu yah Non..?"

Sambil menahan tawa aku pun berkata, "Iya Pak, dikasih 'wejangan' pula.."

Supirku hanya dapat memandangku dari kaca spion dengan pandangan tidak mengerti dan aku hanya membalasnya dengan senyuman rahasia. He..he..he..

 
;